Sedih.
Mengurung diri di kamar tanpa dapat berbuat apapun dan tanpa terasa buliran bening itu pun mengalir dari sudut mata. Ya, inilah aku dulu, jika apa-apa yang ingin ku lakukan tak mendapat izin dari orang tuaku. Ah, anak kecil ini memang cengeng. Ya, terutama karena bapak. Bapak selalu bertanya,
kapan?
pagi? siang? sore? atau malam?
nanti apa yang ku lakukan di sana?
di mana tempatnya? jauh kah?
bagaimana aku ke sana?
untuk apa?
manfaatnya apa, mungkin dari semua pertanyaan di atas inilah intinya. Manfaatnya apa? Memang beliau tidak langsung menanyakan ini, namun kini baru ku sadari bahwa Bapak sedang membelajarkan prioritas kepadaku. Apakah lebih banyak manfaat atau mudharatnya?
Ya. Beberapa kali ego dalam diri yang sering membuatku kecewa. Dulu saat aku masih SMA, aku mendapat undangan buka bersama alumni SMP. Kedua orang tuaku tak mengizinkan karena cukup jauh.
"Kamu kan belum tahu tempatnya, Nduk. Nanti berangkatnya bagaimana?"
"Sudahlah, kamu kan sudah SMA kok masih ikut buka puasa SMP."
Ingin sekali aku menjawab dengan berbagai alasan.
"Kan mau ketemu teman SMP. Reuni alias menyambung silaturahmi. Lagi pula uang untuk bukbernya juga dari uang tabungan adik sendiri kok."
Ingin sekali mengatakan alasan-alasan ini agar mereka mengizinkanku. Tapi bibir ini selalu saja kelu. Sulit sekali untuk menjawab pertanyaan mereka jika aku sudah mencium aroma-aroma "penolakan izin" dari mereka.
"Bapak juga belum tahu tempatnya di mana. Nanti kalau nyasar dan terlambat jemput malah telat atau malah gak bisa ikut tarawih."
Dengan alasan logis ini pun aku masih menggerutu.
"Nggih pun, mboten sios melu buka bersama."
(Ya sudah tidak jadi ikut buka bersama) Ku jawab dengan kesal. Segera aku menyendiri di kamar, dan berujung tangisan.
Dan lagi, ketika teman-teman sekelas akan ke pantai, aku pun ingin ikut. Namun tak lagi mendapat izin dari mereka.
“Sudah di rumah saja kan bisa bantu bersih-bersih rumah. Dulu juga pernah ke pantai kan? Cuma lihat laut aja kok”
Selalu saja tak mampu mendebat mereka jika sudah ada kalimat-kalimat penolakan dari mereka.
Ya, mungkin inilah cara mereka menjagaku dan tentunya ini skenario Allah juga agar menjagaku dari hal-hal yang tidak baik. Entah itu bermain-main air, baju pun basah hingga aurat bisa terlihat. Ya, kini baru ku sadari. Itu cara Allah menjagaku yang dulu belum mengerti tentang memakai kaos kaki, tentang memakai rok, memakai pakaian longgar, apalagi tentang bercampur baur dengan lawan jenis. Alhamdulillah, Allah menjagaku lewat izin yang tidak diberikan orang tuaku.
Alhamdulillah untuk puasa tahun ini, aku berhasil mendapat izin untuk mengikuti buka bersama alumni OSIS yang sejak 5 tahun yang lalu aku baru mengikuti sekali ini. Mungkin izin itu karena tempatnya hanya di aula sekolah yang hanya sepuluh sampai lima belas menit perjalanan menggunakan angkutan kota. Alhamdulillah seorang teman, sebut saja Destriya berbaik hati menjemput dan mengantarku pulang nanti. Sesampainya di sana, aku bertanya pada Destriya yang sudah sering menghadiri agenda bukber (baca: buka bersama) ini.
“Biasanya sampai jam berapa Des?”
“Sampai malam.”
“Bisa shalat tarawih nggak?”
“Biasanya sih gak bisa.”
Teringat pesan mamak, pokok’e kudu shalat tarawih ning Mushola, aja nganti telat, mengko melu ndarus yo. Harus shalat tarawih di Mushola (Mushola di dekat rumah), jangan sampai terlambat, nanti ikut tadarus ya.
Ya, mamak selalu berpesan begitu, yang intinya harus pulang sebelum adzan Isya. Hmm.... kali ini sedang diingatkan juga tentang menjemut keberkahan Ramadhan dengan tidak terlambat shalat Fardhu dan jangan sampai absen jamaah tarawih. >_< mamakku memang “rempong” untuk kebaikanku pasti. Pun malamnya ada agenda tadarus (baca simak Al Qur’an bergantian). Jadi gak lucu juga kalau gak ikut tarawih di Mushola, tapi ikut tadarusnya aja.
Alhamdulillah bisa berjumpa dengan teman-teman seperjuangan baik satu angkatan maupun berbeda angkatan, dari yang lebih tua sampai yang lebih muda di bukber OSIS. Ah, tapi aku merasa aneh dan merasa teman-teman juga sedikit berbeda melihatku. Aku yang masih belajar berkaos kaki dan menghindari berjabat tangan langsung dengan lawan jenis. Mengingat dulu hingga kepengurusan berakhir aku belum berjilbab dan baru berjilbab di kelas XII. Aaaaaa.... benar-benar merasa menjadi minoritas. Di sana pun selalu bersama tiga orang teman yang cocok. Ya, tiga teman yang sedari dulu aku nyaman bersama mereka. Seharusnya tak begitu kan? Seharusnya aku bisa dekat dengan teman-teman yang lain juga. Tapi memang sedari dulu begitu, ada semacam kotak-kotak di antara kita.
Astaghfirullah, mungkin karena aku yang berprasangka dan terbelenggu persepsi masa lalu.
bersambung...
No comments:
Post a Comment