Saturday, January 24, 2015

Sepenggal Memori#3 –Gejolak hati atas diri yang belum mampu menghargai-

Kita ini siapa kawan?  Sadarkah bahwa gelar mahasiswa kini tertera dalam diri kita? Kini kita sudah menyandang gelar “maha”, ya, mahasiswa. Bukankah banyak harapan  mereka, ya,rakyat indonesia di luar sana. Benar-benar sangat mengharapkan kemajuan bangsa ini lewat para agent of change alias para Mahasiswa. Lantas, apakah yang sudah kita lakukan hingga saat ini? Sudahkah kita berkontribusi? Ataukah selama ini gelar mahsiswa ini hanya sebagai status saja?


Lantas akan kau sia-siakan orang tua yang sudah berusaha keras membiayaimu agar dapat menempuh pendidikan tinggi. Kau tahu bukan bahwa walaupun sudah dibiayai orang tua, sebagian besar biaya kuliah kita ini disubsidi oleh rakyat Indonesia. Kau tak tahu atau menutup mata? Maka jika kau tahu, jalani kesempatan dan terutama nafas yang masih bisa kita hirup ini dengan kesungguhan. Masihkah kau menutup mata? Bukankah dari keringat-keringat rakyat Indonesia kita bisa menikmati bangku kuliah yang bersih, rapi, sejuk dan full AC ini. Yang dulu orang desa ini bahkan pernah masuk angin pasca pertama kali memasuki ruang kuliah ber-AC  yang begitu megah ini. Hehe


Ya, masihkah menutup mata? Di luar sana masih banyak yang ingin pula merasakan nikmatnya kuliah seperti kita. Mereka di luar sana sudah berlomba-lomba berusaha memasuki gerbang kampus ini. Dan kita di sini, yang tak sampai sepuluh persen dari penduduk Indonesia, apakah masih mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada?


Kawan, mungkin uraian ini terlalu berat. Namun sesungguhnya aku hanya ingin menyuarakan satu hal saja. Ya, satu hal yang aku pun sedang belajar melaksanakannya kawan. Bukan hal yang sulit sebenarnya. Yang ingin ku utarakan hanyalah, Mari kita belajar untuk menjadi pendengar. Ya, mudah bukan? Ah iya, aku yakin kalian, para mahasiswa pasti bisa menjadi pendengar. Ya tak hanya kalian, bahkan para murid SD, siswa SMP maupun SMA, pun juga mereka yang kini tak berada di bangku sekolah pun pasti bisa menjadi pendengar yang baik.


Lagi-lagi ini tentang belajar dan belajar. Ya, benar, tentang belajar, karena memang kita di sini untuk belajar kan? Ya, belajar dan berproses hingga ajal yang menghentikan proses dan belajar kita.


Aku masih belajar untuk menjadi pendengar yang baik. Ya, menjadi pendengar siapapun yang menyampaikan kebaikan, termasuk di kelas. Ya, di kelas. Forum ilmu yang kita mimpikan sebelumnya, yang saat ini kita sudah diizinkan berada di dalamnya. Ya, forum ilmu di mana kita sebagai maha dari para siswa. Aku yakin bahwa yang disampaikan di sini adalah kebaikan yang akan bermanfaat sekarang dan nanti. Kalian juga yakin kan bahwa ilmu Fisika ini atau ilmu-ilmu lainnya akan bermanfaat nantinya?


Hmm, sudah 2 tahun rupanya aku berada di kampus, mencoba mengisi gelas kosong dalam diriku untuk kemudian dituangkan isinya nanti. Untuk kemudian dibagikan nanti. Ya, semua ini tentang mempunyai dan berbagi. Tentu yang memiliki baru bisa berbagi, bagaimana dapat berbagi jika tak mempunyai apa yang akan dibagi.


Maka dalam forum ilmu ini, pun juga dalam forum lain mari sama-sama berusaha untuk menjadi pendengar yang baik, kawan. Akan sia-sia saja jika ada yang sudah berbaik hati dengan melangkahkan kaki atau berkendara jauh untuk membagikan ilmu ke kampus ini, namun yang akan menerima ilmu itu justru sering tak memperhatikan kebaikan-kebaikan yang disampaikan. Lebih asyik membicarakan materi di luar forum ilmu atau bahkan sesuatu yang tak bermanfaat. Atau bahkan sibuk dengan gadget sendiri, entah main game, buka FB, sms-an, WA, dll. Mungkin juga raga yang fokus mendengarkan si penyampai ilmu maupun kebaikan, namun jiwa justru pergi melayang-layang ke dunia antah berantah.

Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari)


Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.” (QS Al Mudassir: 38)

Lantas apakah yang akan kita dapatkan kawan dengan melakukan hal-hal di atas tadi?  Apakah kebaikan itu juga akan menjadi milik kita, jika kita tak menghargai si penyampai kebaikan itu dan kebaikan yang beliau sampaikan. Ya, konkritnya saja bapak-ibu dosen di kelas kita tercinta ini. Mungkinkah kebaikan itu mau sampai pada kita yang masih tak mempedulikan si penyampai kebaikan dan kebaikan itu sendiri? Bagaimana ilmu mau sampai pada kita ah tidak, bukan kita tetapi aku, aku yang belum menghargai, mempedulikan dan memperhatikan bapak-ibu-kakak-teman-adik yang menyampaikan ilmu dan kebaikan di depan forum. Ya, aku sadar, banyak hal yang sudah mereka berikan dan sudah ku dapat pula, namun aku merasa belum memiliki dan memahaminya. Bisa jadi ini karena aku, iya aku yang belum menghargai si penyampai ilmu, si penyampai kebaikan-kebaikan itu. Ya, aku yang belum mampu menghargai, aku yang masih sibuk mengerjakan hal lain, sehingga ilmu dan kebaikan itu enggan menjadi milikku.

“...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu an orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang akan kamu kerjakan.” (QS Al Mujadilah: 11)


 “Janganlah kau padamkan cahaya ilmu yang dikaruniakan Allah dengan maksiat.” (Wasilah Imam Malik kepada Imam Syafi’i)

Maafkan aku. Ya, aku yakin dan sadar bahwa permohonan maaf ini tak berarti bagimu, ilmu. Aku tak hanya memohon maaf, tapi aku ingin berubah. Aku ingin menjadi pendengar yang baik. Aku ingin menghargai ibu-bapak-kakak-teman-adik yang menyampaikan ilmu dan kebaikan itu. Aku ingin berubah sebelum aku menyesal. Ya sebelum aku menyesal karena jika saat ajal datang, aku belum berubah dan menghargai kalian.  Karena Allah masih izinkan nafas dalam dada, maka aku akan belajar, berusaha dan berproses untuk menghargai kalian dan kebaikan yang kalian sampaikan.

Ilmu semata tak akan menghindarkanmu dari maksiat hari ini, dan tidak pula dapat menyelamatkanmu dari siksa neraka di hari sok. Jika hari ini kamu tidak sungguh-sungguh beramal, maka pada hari kiamat kelak engkau berkata, “Kembalikanlah kami (ke dunia) agar dapat melakukan amal shalih. “Namun, dijawab, “Hei kamu, bukankah kamu telah dari sana?” (Imam Ghazali)

:’) karena tak ada yang tahu pada detik ke berapa nafas terhenti, maka izinkan aku berproses memperbaiki diri :’) semangat mbul asri ^^ yuk, berubah, berproses, membaik karena Allah :’)

-Di sela menanti kuliah Kewirausahaan-

Catatan yang belum sistematis, semoga bermanfaat :’)
Dandelion Sederhana yang ingin terus berproses
yang sedang belajar membuka mata, hati dan pikiran :’)

Sepenggal Memori #5 Bersama TAKSI, kerinduan sang penyusup

Hai mba Dew... emak kedua setelah mba Atul (kabid Kemuslimahan HASKA JMF 2013). Hai mba Ariva, yang kosnya kita gunakan beberapa malam untuk latihan agar bisa maksimal tampil di Ta'aruf Tuk Muslimah saat OSPEK FMIPA 2013. syubidupap, lalala.... Hai mba Anggita, yang sering improvisasi. apa kabar mbak-mbakku? gimana skripsweetnya?

Menyapa Eni si pinky, partner suara 2 dalam lagu "Alhamdulillah", nananina... Semangat PKL ya! Kak Nib-chan alias Nibras, apapun yang terjadi Allah pasti berikan yang terbaik, keep kuat, keep tabah, keep sabar seperti Nibras biasanya. Betapa Allah ingin kita bersih dengan ujian yang diberikan, entah amanah, sakit, dan lain sebagainya. Ihwa, sang penghafal Qur'an, tetaplah menginspirasi.

Tak lupa si tangguh Mpik alias Fikha yang sudah mengizinkanku kembali menyusup di TAKSI HASKA JMF tahun 2014. Adik-adik TAKSI 2014, Indah, NJ, Ajeng, Uswah, Anggun dan tak lupa Ukh Vina. Terima kasih sudah mengizinkan Asri bersama-sama belajar di TAKSI 2014. Banyak hal yang sudah asri dapatkan dari kalian. Maaf juga atas segala salah dan khilaf selama menyusup di TAKSI.


Semangat melanjutkan amanah. Semangat bertumbuh. Kemanapun angin cintaNya membawamu pergi, tetaplah menebar kebaikan

 :*

Ah iya, yang tak boleh terlupa, pelatih vokal kita yang luar biasa, panggil saja Mba Naris. Mbak Naris yang melatih kami dengan sabar. Aku masih ingat mbak saat galdhi resik untuk tampil di SATELIT XV, kau tetap ada dan membimbing kami meski jarak jadi pemisah dan kau harus menelpon kami selama beberapa jam. Mbak Naris yang selalu mendampingi saat kami tampil meskipun harus berlari-lari dari satu tempat ke tempat lain. Mbak Naris yang memberikan support dan arahan di belakang audiens. Atas ilmu, perhatian, cinta dan segalanya, hanya Allah yang sanggup membalas kebaikanmu mbak. Kami sayang mba Naris karena Allah.

Dari TAKSI dan Mbak Naris. Aku belajar bahwa kita tidak hanya sekedar tampil. Entah bernyanyi,  drama atau apapun itu, tak hanya sekedar kewajiban, tapi ini ikhtiar kita untuk menegakkan agama Allah. Semoga dengan apa yang kita tampilkan bisa menginspirasi dan mengajak orang lain ke dalam kebaikan. Dengan apa yang kita tampilkan, mereka akan tahu bahwa Islam itu indah, bahwa Islam itu ramah. Semoga dengan melihat apa yang ditampilkan bisa menjadi perantara hidayah tentu dengan izin, kuasa dan pertolongan Allah. Maka sebelum latihan selalu diawali dengan bismillah dan tilawah. Aku pun selalu diingatkan bahwa ikhtiar maksimal itu wajib namun harus diawali dengan niat yang lurus karena Allah. Pun selalu ada syiar tilawah, Dhuha dan lain-lain. Sebelum latihan, gladhi bersih maupun tampil, Fikha selalu mengecek apakah syiar sudah dilakukan. Jika belum maka kita belum boleh bergabung untuk latihan. Ya, kita harus mencuri perhatian Allah dengan berikhtiar untuk selalu dekat denganNya lewat amalan-amalan kita agar Allah memberikan pertolonganNya. Hanya karena pertolongan Allah yang membuat kita bisa.


Aku belajar pula tentang ikhtiar maksimal seorang ummi, begitu awak TAKSI 2014 memanggilnya. Si Mpik yang berjuang dengan maksimal untuk merangkul anak-anaknya tetap bertahan di TAKSI hingga akhir, dari menanyakan kabar via telepon, bicara dari hati ke hati sampai mengunjungi kos awak TAKSI. Aku belajar darimu tentang pantang menyerah, Fikh. Dan aku belajar bahwa ukhuwah memang perlu diperjuangkan hingga akhir. Ingat kau masih punya hutang. :)

Aku juga belajar tentang ketulusan. Apa-apa yang dari hati akan sampai ke hati. Walau kini tak sesering dulu bersua, namun kerinduan masih ada.


 Semoga selalu dikuatkan.
#Rabithah :)

Saturday, January 10, 2015

SepenggalMemori#4 yang tak lelah menjagaku

Sedih.
Mengurung diri di kamar tanpa dapat berbuat apapun dan tanpa terasa buliran bening itu pun mengalir dari sudut mata. Ya, inilah aku dulu, jika apa-apa yang ingin ku lakukan tak mendapat izin dari orang tuaku. Ah, anak kecil ini memang cengeng. Ya, terutama karena bapak. Bapak selalu bertanya,
kapan?
pagi? siang? sore? atau malam?
nanti apa yang ku lakukan di sana?
di mana tempatnya? jauh kah?
bagaimana aku ke sana?
untuk apa?

manfaatnya apa, mungkin dari semua pertanyaan di atas inilah intinya. Manfaatnya apa? Memang beliau tidak langsung menanyakan ini, namun kini baru ku sadari bahwa Bapak sedang membelajarkan prioritas kepadaku. Apakah lebih banyak manfaat atau mudharatnya?

Ya. Beberapa kali ego dalam diri yang sering membuatku kecewa. Dulu saat aku masih SMA, aku mendapat undangan buka bersama alumni SMP. Kedua orang tuaku tak mengizinkan karena cukup jauh.

"Kamu kan belum tahu tempatnya, Nduk. Nanti berangkatnya bagaimana?"
"Sudahlah, kamu kan sudah SMA kok masih ikut buka puasa SMP."

Ingin sekali aku menjawab dengan berbagai alasan.
"Kan mau ketemu teman SMP. Reuni alias menyambung silaturahmi. Lagi pula uang untuk bukbernya juga dari uang tabungan adik sendiri kok."
Ingin sekali mengatakan alasan-alasan ini agar mereka mengizinkanku. Tapi bibir ini selalu saja kelu. Sulit sekali untuk menjawab pertanyaan mereka jika aku sudah mencium aroma-aroma "penolakan izin" dari mereka.
"Bapak juga belum tahu tempatnya di mana. Nanti kalau nyasar dan terlambat jemput malah telat atau malah gak bisa ikut tarawih."
Dengan alasan logis ini pun aku masih menggerutu.
"Nggih pun, mboten sios melu buka bersama."
(Ya sudah tidak jadi ikut buka bersama) Ku jawab dengan kesal. Segera aku menyendiri di kamar, dan berujung tangisan.


Dan lagi, ketika teman-teman sekelas akan ke pantai, aku pun ingin ikut. Namun tak lagi mendapat izin dari mereka.
“Sudah di rumah saja kan bisa bantu bersih-bersih rumah. Dulu juga pernah ke pantai kan? Cuma lihat laut aja kok”
Selalu saja tak mampu mendebat mereka jika sudah ada kalimat-kalimat penolakan dari mereka.

Ya, mungkin inilah cara mereka menjagaku dan tentunya ini skenario Allah juga agar menjagaku dari hal-hal yang tidak baik. Entah itu bermain-main air, baju pun basah hingga aurat bisa terlihat. Ya, kini baru ku sadari. Itu cara Allah menjagaku yang dulu belum mengerti tentang memakai kaos kaki, tentang memakai rok, memakai pakaian longgar, apalagi tentang bercampur baur dengan lawan jenis. Alhamdulillah, Allah menjagaku lewat izin yang tidak diberikan orang tuaku.

Alhamdulillah untuk puasa tahun ini, aku berhasil mendapat izin untuk mengikuti buka bersama alumni OSIS yang sejak 5 tahun yang lalu aku baru mengikuti sekali ini. Mungkin izin itu karena tempatnya hanya di aula sekolah yang hanya sepuluh sampai lima belas menit perjalanan menggunakan angkutan kota. Alhamdulillah seorang teman, sebut saja Destriya berbaik hati menjemput dan mengantarku pulang nanti. Sesampainya di sana, aku bertanya pada Destriya yang sudah sering menghadiri agenda bukber (baca: buka bersama) ini.
“Biasanya sampai jam berapa Des?”
“Sampai malam.” 
“Bisa shalat tarawih nggak?” 
“Biasanya sih gak bisa.” 

 Teringat pesan mamak, pokok’e kudu shalat tarawih ning Mushola, aja nganti telat, mengko melu ndarus yo. Harus shalat tarawih di Mushola (Mushola di dekat rumah), jangan sampai terlambat, nanti ikut tadarus ya. 

Ya, mamak selalu berpesan begitu, yang intinya harus pulang sebelum adzan Isya. Hmm.... kali ini sedang diingatkan juga tentang menjemut keberkahan Ramadhan dengan tidak terlambat shalat Fardhu dan jangan sampai absen jamaah tarawih. >_< mamakku memang “rempong” untuk kebaikanku pasti. Pun malamnya ada agenda tadarus (baca simak Al Qur’an bergantian). Jadi gak lucu juga kalau gak ikut tarawih di Mushola, tapi ikut tadarusnya aja.


Alhamdulillah bisa berjumpa dengan teman-teman seperjuangan baik satu angkatan maupun berbeda angkatan, dari yang lebih tua sampai yang lebih muda di bukber OSIS. Ah, tapi aku merasa aneh dan merasa teman-teman juga sedikit berbeda melihatku. Aku yang masih belajar berkaos kaki dan menghindari berjabat tangan langsung dengan lawan jenis. Mengingat dulu hingga kepengurusan berakhir aku belum berjilbab dan baru berjilbab di kelas XII. Aaaaaa.... benar-benar merasa menjadi minoritas. Di sana pun selalu bersama tiga orang teman yang cocok. Ya, tiga teman yang sedari dulu aku nyaman bersama mereka. Seharusnya tak begitu kan? Seharusnya aku bisa dekat dengan teman-teman yang lain juga. Tapi memang sedari dulu begitu, ada semacam kotak-kotak di antara kita. 

Astaghfirullah, mungkin karena aku yang berprasangka dan terbelenggu persepsi masa lalu. 

bersambung...